Belakangan ini, ruang publik kita, terutama media sosial, semakin ramai dengan berbagai tuduhan terbuka terhadap pejabat publik hingga sesama warga. Tak sedikit yang dengan enteng menyebut orang lain melakukan korupsi, manipulasi data, atau penyalahgunaan wewenang, tanpa menyajikan data yang dapat diverifikasi.
Yang lebih memprihatinkan, sebagian orang merasa cukup hanya menyebut “indikasi” atau “dugaan.” Mereka berpikir, “Toh nanti aparat hukum yang akan membuktikan.” Pola pikir ini bukan hanya keliru, tetapi juga berisiko menyesatkan masyarakat. Bila dilakukan secara terbuka, bahkan dapat menjerat pelakunya ke ranah hukum.
Dalam sistem hukum Indonesia, setiap tuduhan pidana wajib disampaikan secara resmi dan disertai bukti permulaan yang cukup. Memang benar, masyarakat bukanlah pihak yang menentukan sah tidaknya suatu alat bukti dalam proses hukum. Itu adalah kewenangan aparat penegak hukum: polisi, jaksa, hingga hakim.
Namun demikian, masyarakat tetap berkewajiban menyampaikan tuduhan berdasarkan fakta yang dapat diuji, bukan sekadar asumsi atau opini pribadi. Misalnya:
Apakah ada dokumen pendukung?
Apakah ada saksi yang dapat dimintai keterangan?
Apakah ada kerugian yang dapat dihitung secara jelas?
Tanpa dasar seperti ini, tuduhan bisa dengan mudah dikategorikan sebagai fitnah atau pencemaran nama baik, terlebih jika disebarkan melalui media sosial, grup WhatsApp, atau video siaran langsung. Konsekuensinya tidak ringan, bisa dijerat dengan Pasal 310 dan 311 KUHP, bahkan Pasal 27 ayat (3) UU ITE yang ancamannya hingga 4 tahun penjara.
Pejabat Publik Sering Menahan Diri, Bukan Karena Bersalah.
Fenomena yang sering terjadi di lapangan, tuduhan-tuduhan semacam ini banyak diarahkan pejabat publik. Karena jabatan mereka sebagai pelayan masyarakat, mereka kerap memilih tidak membalas dengan pelaporan balik, meski secara hukum sangat memungkinkan. Tujuannya jelas: menjaga kondusifitas, menghindari kegaduhan sosial, dan mencegah konflik horizontal.
Namun sikap ini jangan sampai disalahartikan sebagai kelemahan atau pengakuan salah. Sikap menahan diri bukan berarti mereka bersalah, dan bukan berarti masyarakat boleh bebas menyerang karakter seseorang seenaknya.
Coba bayangkan jika tuduhan itu diarahkan kepada orang biasa, bukan pejabat. Bisa jadi laporan pencemaran nama baik akan langsung dilayangkan, proses hukum berjalan cepat, dan masalah menjadi semakin besar. Jangan sampai kita menciptakan standar ganda, di mana aparat dituntut sabar, namun masyarakat merasa bebas mencemarkan nama siapa saja.
Gunakan Jalur yang Benar, Bukan Media Sosial.
Jika masyarakat benar-benar mencurigai adanya penyimpangan atau pelanggaran hukum, gunakanlah jalur yang tepat:
1. Laporkan ke kepolisian, disertai bukti permulaan yang logis.
2. Lapor ke Inspektorat Daerah, untuk pengawasan internal pemerintahan.
3. Gunakan kanal resmi seperti SP4N-LAPOR, agar laporan tercatat dan diproses sesuai mekanisme negara.
4. Jika ingin menyampaikan kritik terbuka, gunakan bahasa yang santun dan lampirkan data yang bisa diverifikasi.
Dengan cara ini, keadilan bisa ditegakkan tanpa menciptakan kekacauan sosial.
Kritik Itu Hak, Tapi Fitnah Bukan Kebebasan.
Dalam negara demokratis, kritik adalah bagian penting dari kontrol sosial. Namun kritik yang baik harus dilandasi data, disampaikan dengan etika, dan tidak menyalahi hukum. Jangan jadikan kritik sebagai kedok untuk menyebar fitnah.
Ingat: Demokrasi tanpa tanggung jawab bisa berubah menjadi anarki. Hukum tanpa etika akan melukai keadilan.
Redaksi baliberkabar.id mengajak seluruh elemen masyarakat untuk lebih bijak dalam bersuara. Kritik boleh, tapi harus bertanggung jawab. Suarakan kebenaran, tapi jangan melukai orang lain tanpa dasar yang kuat. Karena jika salah langkah, bukan kebenaran yang kita dapat, tetapi justru masalah hukum yang panjang.
Mari kita jaga ruang publik yang sehat, beretika, dan berkeadilan.
Pimpinan Redaksi baliberkabar.id
Social Header