Breaking News

Bunut Bolong dan Desa Manggissari: Jejak Sakral yang Menyatu dengan Sejarah Jembrana

Bunut Bolong dan Desa Manggissari kini menjadi destinasi wisata spiritual yang menarik.

Jembrana, BaliBerkabar.id – Di balik rindangnya hutan tropis Jembrana, Bali, tersimpan kisah panjang yang tak hanya berupa catatan sejarah, melainkan juga warisan sakral yang hidup hingga kini. Desa Manggissari dan pohon keramat Bunut Bolong menjadi saksi perjalanan masyarakat setempat dari masa kolonial hingga era modern.

Sejarah Desa Manggissari berawal sekitar tahun 1904. Kala itu, rombongan penduduk dari Singaraja, Gianyar, dan Klungkung membuka hutan di jalur Pupuan–Pekutatan. Permukiman pertama dikenal dengan sebutan Barak Seng, merujuk pada bangunan beratap seng merah yang menandai hadirnya kehidupan baru.

Namun perjalanan itu tidak mudah. Hama dan wabah malaria sempat menghantam warga. Dalam situasi genting, masyarakat melakukan pemujaan pada sebuah pohon lateng bercabang tiga yang dianggap suci. Dari sana lahirlah Pura Pengulu (kini Pura Pucak Sari), pusat spiritual yang menuntun masyarakat dalam bertani sekaligus menjaga keseimbangan hidup.

Pada 1928, peristiwa unik terjadi: pohon manggis di desa tersebut terus berbunga namun tak pernah berbuah. Fenomena itu mengilhami perubahan nama menjadi Manggissari, yang bertahan hingga kini sebagai identitas desa penuh makna.

Tak jauh dari desa, berdiri megah pohon bunut raksasa dengan lubang besar di tengah batangnya. Pohon ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi juga menyimpan kisah kelam.

Sekitar tahun 1918, pada masa penjajahan Belanda, jalan Pupuan–Pekutatan dibuka dengan kerja paksa. Pohon bunut itu dilubangi agar dapat dilalui, namun pekerjaan berat tersebut merenggut nyawa 75 pekerja rodi, yang kemudian dimakamkan di jurang selatan pohon. Sejak saat itu, pohon tersebut dikenal sebagai Bunut Bolong – bunut yang berlubang – sekaligus pintu gerbang menuju Banjar Bunut Bolong.

Hingga kini, masyarakat memegang teguh aturan adat: prosesi pernikahan dan pengantaran jenazah dilarang melewati lubang pohon. Kepercayaan menyebut, pelanggaran bisa mendatangkan musibah.

Bunut Bolong bukan berdiri sendiri. Di sekitarnya, masih terjaga warisan leluhur yang menyatu dengan keyakinan masyarakat.

“Di kawasan Bunut Bolong ada Pura Bhujangga Sakti Luwih sebagai kawitan desa, Batu Palungan yang ditemukan tahun 1931 sebagai tempat memohon kesejahteraan dan kesembuhan, serta Taman Beji yang ditemukan tahun 1938 untuk melukat dan penyucian pratima. Semua ini kami rawat sebagai pusaka sakral,” ujar Bendesa Adat Manggissari, I Nyoman Linggih, Rabu (20/8/2025).

Kini, Bunut Bolong dan Desa Manggissari tak hanya menjadi destinasi wisata spiritual, tetapi juga kebanggaan masyarakat Jembrana. Kehadirannya melampaui fungsi wisata: ia adalah identitas, simbol harmoni, dan titipan leluhur yang harus dijaga.

“Bunut Bolong adalah saksi bisu perjalanan kami. Ia bukan sekadar pohon, tetapi pengingat agar masyarakat selalu hidup selaras dengan alam dan adat. Warisan leluhur ini akan terus kami jaga, agar tak hilang ditelan zaman,” tegas Bendesa Adat Manggissari.

Dengan aura mistis yang menyelubunginya, Bunut Bolong dan Desa Manggissari bukan hanya jejak sejarah, tetapi juga gerbang spiritual yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. 

Penulis: Putu Suardana | Editor: Gede Sumertayasa | Bali Berkabar

© Copyright 2022 - Bali Berkabar