Breaking News

Kebijakan Memberatkan Masyarakat: Kritik Prof. Djohermansyah terhadap Kenaikan PBB sebesar 250% di Pati

Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN dan mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (2010–2014).

Pati, baliberkabar.id | Kebijakan Bupati Pati yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Perdesaan dan Perkotaan hingga 250 persen menuai kritik tajam. Bukan hanya dari warga, tapi juga dari kalangan akademisi pemerintahan. Salah satunya datang dari Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, Guru Besar Ilmu Pemerintahan IPDN dan mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (2010-2014). 

Menurut Prof. Joe — demikian ia akrab disapa — kebijakan tersebut bukan hanya terburu-buru, tetapi juga bermasalah secara etika pemerintahan, substansi kebijakan, dan proses perumusannya.

Mengabaikan Kapasitas Rakyat

“Kebijakan publik tidak boleh hanya berorientasi pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD),” tegasnya dalam wawancara Radio Idola FM-Semarang (8/8/2025), yang disiarkan secara nasional. “Harus dilihat juga kemampuan rakyat, tingkat kemiskinan, dan capaian IPM (Indeks Pembangunan Manusia) di daerah tersebut.”

Bagi Prof. Joe, menaikkan pajak hingga tiga kali lipat dalam waktu singkat adalah kebijakan yang tidak peka terhadap daya beli masyarakat, apalagi dalam situasi ekonomi yang belum stabil pasca pandemi dan gejolak ekonomi global.

Minim Pelibatan Publik

Tak hanya soal angka, ia juga menyoroti proses penyusunan kebijakan yang minim partisipasi publik. Kebijakan yang hanya berbasis Peraturan Kepala Daerah (perkada), tanpa konsultasi dengan pimpinan DPRD, tokoh masyarakat independen, atau gubernur yang wakil pusat sebagai pembina bupati, dinilai cacat prosedural.

“Kalau hanya mengundang camat dan kepala desa, ya pasti mereka manut. Mana berani mereka berbeda pendapat dengan bupati?” kritiknya. “Padahal partisipasi publik itu harus luas dan bermakna.”

Kepemimpinan Arogan, Bukan Bijak

Tak kalah tajam, Prof. Joe juga menyesalkan gaya komunikasi Bupati Pati yang dinilai arogan ketika menanggapi protes warga. Dalam pernyataannya yang viral, sang bupati menantang warga untuk datang langsung jika keberatan. 5.000 - 50.000 masapun sang bupati tak gentar. 

"Jangan begitulah, pemimpin daerah haruslah "wise" dan bijaksana," ujar Prof Djoe. 

“Seorang pemimpin harus punya hati yang luas. Jangan marah-marah kepada rakyat,” ujarnya. “Bupati itu ada karena dipilih rakyat. Kalau bukan karena mereka, dia bukan siapa-siapa.”

Menyimpang dari Semangat Desentralisasi

Sebagai mantan Dirjen OTDA, Prof. Joe mengingatkan bahwa semangat otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, bukan malah membebani. Kebijakan semacam ini, katanya, telah menyimpang dari tujuan utama desentralisasi.

“Jangan sedikit-sedikit rakyat dipajaki. Harusnya kepala daerah berpikir memberi insentif, bukan beban,” ujarnya. “Apalagi saat ini rakyat sedang dalam tekanan ekonomi.”

Belajar dari Kasus Pati

Prof. Joe menyarankan agar para kepala daerah di seluruh Indonesia menjadikan kasus ini sebagai pelajaran penting:

1. Libatkan rakyat secara luas dan jujur dalam perumusan kebijakan.

2. Konsultasikan kebijakan strategis ke pemerintah pusat dan provinsi, termasuk ke Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Keuangan.

3. Jangan reaktif dan represif dalam merespons protes publik lewat Satpol PP.

4. Buatlah kebijakan yang membahagiakan, bukan membebani rakyat.

Pemerintah Pusat Harus Hadir

Sebagai penutup, Prof. Joe menyerukan agar pemerintah pusat tidak tinggal diam. Menurutnya, Dirjen Otonomi Daerah atau pejabat Kemendagri perlu segera memanggil Bupati Pati untuk evaluasi dan pembinaan.

“Jangan dilepaskan begitu saja ke gubernur karena bisa ada "ewuh pakewuh". Pemerintah pusat harus hadir,” tandasnya.

Kenaikan PBB sebesar 250% bukan hanya soal angka. Ia mencerminkan wajah kebijakan yang tidak berpihak, proses yang tidak transparan, dan kepemimpinan yang kehilangan kepekaan. Jika tidak dikoreksi, ini bisa menjadi preseden buruk bagi praktik pemerintahan daerah di Indonesia.

Penulis: Beng Aryanto
Published: Bali Berkabar 
© Copyright 2022 - Bali Berkabar