Sidang ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Regy Trihardianto bersama dua hakim anggota, dengan JPU Ida Bagus Eka, S.H., M.H. Suardana hadir tenang di kursi terdakwa, didampingi tim penasihat hukum I Putu Wirata Dwikora, SH dan I Ketut Artana, SH, MH.
PN Negara Dinilai Tak Berwenang
Dalam eksepsinya, tim kuasa hukum menegaskan bahwa PN Negara tidak memiliki kewenangan mengadili perkara tersebut. Menurut mereka, kasus yang menjerat Suardana murni sengketa karya jurnalistik.
“Ini murni sengketa karya jurnalistik, sehingga mekanismenya sesuai UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Berdasarkan aturan itu, penyelesaian wajib melalui Dewan Pers, bukan pengadilan pidana,” ujar kuasa hukum di persidangan.
Dalil ini diperkuat dengan MoU Dewan Pers dan Polri, yang secara tegas mengatur agar sengketa pemberitaan diselesaikan lebih dulu lewat mekanisme Dewan Pers.
Dakwaan JPU Dinilai Tidak Cermat
Selain persoalan kewenangan, tim hukum juga menilai dakwaan JPU tidak cermat dan salah penerapan hukum. Dugaan pelanggaran yang disangkakan, kata mereka, seharusnya masuk kategori pidana khusus (Pidsus), bukan pidana umum.
Bila merujuk KUHP, pasal yang relevan adalah Pasal 310 tentang pencemaran nama baik, bukan Pasal 27A UU ITE sebagaimana digunakan JPU.
Kuasa hukum juga menyebut dakwaan tidak lengkap karena mengabaikan fakta penting di lapangan. Pada April 2024, Suardana menulis berita mengenai dugaan pelanggaran tata ruang pembangunan SPBU 54.822.16 di Kelurahan Pendem, Jembrana.
Dugaan itu belakangan terbukti. Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida pada 30 Mei 2024 menyatakan bangunan SPBU tersebut melanggar sempadan Sungai Jogading dan tidak memiliki izin dari Kementerian PUPR.
“Artinya, pemberitaan terdakwa bukan fitnah atau pencemaran nama baik. Justru mengungkap pelanggaran nyata yang seharusnya ditindak aparat, bukan malah mempidanakan wartawan yang bekerja untuk kepentingan publik,” tegas kuasa hukum.
Tim penasihat hukum Putu Suardana, terdiri dari I Putu Wirata Dwikora, S.H.,(Pakai kemeja biru) dan I Ketut Artana, S.H., M.H.
Produk Jurnalistik Harusnya Dilindungi UU Pers
Tim kuasa hukum juga menegaskan bahwa berita yang dipersoalkan adalah produk jurnalistik resmi. Suardana memiliki kartu pers dan sertifikat Dewan Pers sebagai wartawan muda di media CMN.
Dengan status tersebut, produk jurnalistik yang diterbitkan tunduk pada UU Pers sebagai lex specialis, bukan UU ITE. “Tidak tepat menjadikan UU ITE sebagai dasar menjerat jurnalis,” papar kuasa hukum.
Legal Standing Pelapor Dipertanyakan
Aspek lain yang dipersoalkan adalah legal standing pelapor, yakni Dewi Supriani alias Anik Yahya, komisaris perusahaan pengelola SPBU.
Menurut UU Perseroan Terbatas, hanya direksi yang berwenang mewakili perusahaan di dalam maupun luar pengadilan, sedangkan komisaris hanya memiliki fungsi pengawasan.
“Dengan demikian, laporan yang diajukan pelapor cacat formil dan tidak memiliki dasar hukum. Ini semakin menegaskan perkara ini seharusnya dihentikan,” ujar kuasa hukum.
Permohonan Kuasa Hukum
Dalam penutup eksepsi, tim hukum memohon agar majelis hakim:
1. menerima eksepsi untuk seluruhnya,
2. menyatakan PN Negara tidak berwenang mengadili perkara ini,
3. menyatakan dakwaan batal demi hukum,
4. menyatakan pelapor tidak memiliki legal standing,
5. serta membebaskan Putu Suardana dari segala dakwaan.
Mereka juga meminta agar hak, martabat, dan kedudukan Suardana dipulihkan.
Sidang dengan registrasi perkara Nomor 70/Pid.Sus/2025/PN Nga ditutup setelah pembacaan eksepsi. Sidang berikutnya dijadwalkan pada Kamis (28/9/2025) untuk mendengarkan tanggapan JPU.
Kasus ini menyedot perhatian publik, khususnya kalangan pers, karena dianggap menyangkut kebebasan pers dan berpotensi menjadi bentuk kriminalisasi terhadap jurnalis. (Smty)
Social Header