Breaking News

Akademisi Hukum Adat Soroti Dugaan Kriminalisasi Jurnalis Terkait Penyerobotan Sempadan Sungai Ijogading

Dr. I Ketut Widia, SH, MH. Akademisi dan pakar hukum adat serta hukum Hindu.

Jembrana, Bali Berkabar – Akademisi dan pakar Hukum Adat serta Hukum Hindu, Dr. I Ketut Widia, SH, MH, angkat bicara mengenai dugaan kriminalisasi terhadap seorang jurnalis di Kabupaten Jembrana, Bali. Perkara yang menimpa jurnalis tersebut kini telah memasuki Tahap II dan dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jembrana, dengan sangkaan melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kasus ini berawal dari sebuah laporan investigatif yang ditayangkan oleh media CMN. Dalam laporan tersebut, jurnalis bersangkutan mengangkat dua dugaan pelanggaran serius:

1. Penyerobotan sempadan Sungai Ijogading oleh sebuah SPBU, yang belakangan dikonfirmasi melanggar oleh Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida.

2. Penyalahgunaan izin tata ruang, di mana SPBU yang mengantongi Surat Keterangan Rencana Tata Ruang (SKTR) diduga mendirikan penginapan di area belakang dengan izin peruntukan non-bisnis.

Alih-alih ditindaklanjuti sebagai informasi publik, laporan tersebut justru berujung pada proses hukum pidana terhadap jurnalis yang membuatnya.

Dalam pernyataannya pada Sabtu (19/7/2025), Dr. Ketut Widia menyampaikan keprihatinan mendalam atas proses hukum yang tengah dijalani sang jurnalis.

“Seorang wartawan yang melaksanakan swadarma-nya, yakni kewajiban profesinya dalam menyuarakan kepentingan publik, seharusnya tidak serta-merta ditarik ke ranah pidana. Dalam kamus hukum, istilah ‘kriminalisasi’ memang tidak dikenal secara formil, tetapi dalam praktik sering terjadi—terutama saat aparat hukum menggunakan pasal-pasal tertentu untuk membungkam suara kritis,” ujarnya.

Ia juga menyoroti aspek hukum adat dalam perkara ini. Menurutnya, sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, urusan terkait tanah dan wilayah sempadan sungai tetap tunduk pada ketentuan hukum adat.

Mengaitkan dengan nilai-nilai dalam ajaran Hindu, Dr. Widia menekankan pentingnya menjaga keseimbangan alam melalui konsep Tri Hita Karana.

“Perilaku menyimpang yang merusak lingkungan, termasuk penyerobotan sempadan sungai, adalah tindakan tercela yang bisa menimbulkan kerusakan sosial dan menjadi contoh buruk di tengah masyarakat,” ujarnya.

Ia menilai, reaksi masyarakat yang disuarakan melalui laporan jurnalistik seharusnya dilihat sebagai bentuk kontrol sosial, bukan sebagai pelanggaran hukum.

“Ketika ada penyimpangan, lalu ada reaksi masyarakat yang diwakili oleh wartawan melalui medianya, seharusnya itu dihargai. Bukan justru dikriminalisasi,” tegasnya.

Dr. Widia juga mengkritisi peran Dewan Pers dalam kasus ini, yang menurutnya tidak menjalankan fungsi verifikasi secara objektif.

“Wartawan ini punya kartu pers, medianya juga legal. Tapi diberi label seolah-olah karyanya bukan produk jurnalistik. Saya ingin mengajak Dewan Pers turun langsung ke lapangan, jangan hanya mengeluarkan pernyataan dari kejauhan yang bisa menyesatkan,” tegasnya.

Lebih jauh, ia mengingatkan kembali filosofi lokal Bali Nangun Sat Kerthi Loka Bali, yang menekankan pentingnya menjaga sumber air dan lingkungan hidup demi keharmonisan masyarakat.

“Jika hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, ini akan menimbulkan krisis kepercayaan publik. Hukum bukan alat kekuasaan, tetapi jalan menuju keadilan,” pungkas Dr. Ketut Widia.

Sumber: Pernyataan langsung Dr. I Ketut Widia, SH, MH

Editor: Gede Sumertayasa 


© Copyright 2022 - Bali Berkabar