Breaking News

Ketika Pena Dituding sebagai Dosa: Refleksi atas Kriminalisasi Jurnalis di Jembrana

Bali Berkabar – Edisi Khusus Editorial Utama, 16 Juli 2025. Tulisan ini merupakan bagian dari editorial utama Bali Berkabar dan mencerminkan opini resmi redaksi.

Ketika seorang jurnalis dihadapkan pada tuntutan hukum karena tulisannya yang bertujuan menyuarakan kepentingan publik, yang dipertaruhkan bukan hanya kebebasan individu, melainkan juga kebebasan pers sebagai pilar utama demokrasi.

Kasus hukum yang menimpa I Putu S, seorang jurnalis media lokal di Jembrana, menjadi preseden yang perlu diwaspadai. Artikel yang membahas dugaan pelanggaran sempadan sungai oleh sebuah SPBU, berdasarkan konfirmasi dari instansi resmi, dipersoalkan hingga ke ranah pidana umum dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Namun, dalam prinsip hukum, produk jurnalistik berada di bawah perlindungan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang bersifat lex specialis. Artinya, sengketa terkait pemberitaan seharusnya diselesaikan melalui mekanisme yang telah ditetapkan, seperti hak jawab, hak koreksi, atau melalui Dewan Pers, bukan dengan pendekatan hukum pidana umum.

Hal ini bukan semata soal prosedur, melainkan menyangkut fondasi kebebasan berekspresi dalam sistem demokrasi. Pernyataan resmi Kapolri pun telah menegaskan bahwa produk jurnalistik tidak serta merta dapat dijerat dengan pasal pidana, apalagi jika dilakukan dalam itikad baik dan mengacu pada kaidah jurnalistik.

Namun faktanya, perkara ini tetap diproses oleh aparat kepolisian hingga akhirnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Jembrana. Pertanyaan penting pun muncul: mengapa aparat penegak hukum mengabaikan yurisdiksi khusus yang diatur UU Pers? Dan lebih jauh, mengapa Kejaksaan menerima pelimpahan perkara tersebut tanpa mempertanyakan kedudukan yuridisnya?

Jika alasan yang digunakan adalah status media yang belum terverifikasi oleh Dewan Pers, perlu digarisbawahi bahwa verifikasi bukan syarat legalitas hukum sebuah media. Izin operasional media dikeluarkan oleh negara. Selama wartawan bekerja secara profesional dan beritikad baik, perlindungan hukum terhadapnya seharusnya tidak dikurangi.

Kasus ini memberi kesan bahwa ada potensi kekuatan ekonomi dan kepentingan bisnis memanfaatkan celah hukum untuk membungkam suara kritis. Jika praktik semacam ini terus dibiarkan, maka kita sedang mengarah pada kondisi di mana kebenaran bisa dibungkam, dan jurnalis dapat dikriminalisasi hanya karena menjalankan tugas profesinya.

Kami menyerukan kepada:

Kepolisian RI, untuk mengevaluasi kembali penanganan perkara yang menyasar karya jurnalistik.

Kejaksaan RI, untuk tidak meneruskan perkara pers yang berada di luar ranah pidana umum.

Dewan Pers, agar mengambil sikap proaktif dan melindungi kebebasan pers, meskipun media belum terverifikasi secara administratif.

Komisi III DPR RI dan Komnas HAM, untuk mengawasi jalannya proses hukum ini secara ketat dan terbuka.

Kami juga mengingatkan publik:

Ketika seorang jurnalis dibungkam hari ini, mungkin esok hari giliran suara Anda yang tak lagi terdengar. Kebebasan pers bukanlah milik jurnalis semata, melainkan milik seluruh rakyat yang ingin mengetahui dan menyuarakan kebenaran.

Redaksi Bali Berkabar
© Copyright 2022 - Bali Berkabar