Breaking News

Produk Investigasi Dijerat UU ITE di Jembrana, Sekjen Majelis Pers: Ini Ancaman untuk Kebebasan Pers

Ozzy Sulaeman Sudiro (sebelah kanan), Sekretaris Jenderal Majelis Pers sekaligus Ketua Umum Komite Wartawan Reformasi Indonesia.

Jembrana, baliberkabar.id | Setelah sebelumnya diberitakan oleh media baliberkabar.id, kasus pelimpahan jurnalis I Putu S ke Kejaksaan Negeri (Kejari) Jembrana kini menuai sorotan luas. Sejumlah praktisi hukum, praktisi pers, hingga kalangan jurnalis dari berbagai daerah angkat suara dan menyatakan penolakan terhadap kriminalisasi atas karya jurnalistik.

Dugaan pelanggaran sempadan sungai oleh sebuah SPBU yang dilaporkan melalui produk investigasi media CMN, justru berujung jerat hukum pidana. Padahal, berita tersebut disusun berdasarkan prosedur jurnalistik yang mencakup konfirmasi dan upaya hak jawab. I Putu S kini dijerat Pasal 27A UU ITE dan telah ditetapkan sebagai tersangka sejak pertengahan Juli lalu.

Berita tersebut, yang tayang dengan judul “Seakan Menjajah, Investor Ini Masuk Kabupaten Jembrana Diduga Caplok Sempadan Sungai”, mengangkat dugaan penyalahgunaan lahan milik Pemkab Jembrana yang seharusnya difungsikan sebagai ruang terbuka hijau. SPBU yang dimaksud disinyalir melanggar tata ruang dan mendapat pembenaran dari instansi terkait, salah satunya Balai Wilayah Sungai (BWS) Bali Penida.

Namun alih-alih ditanggapi melalui hak jawab atau mekanisme mediasi sengketa pers sebagaimana diatur dalam UU Pers, pihak SPBU memilih jalur hukum pidana. I Putu S pun dijerat Pasal 27A jo Pasal 45 ayat (4) UU ITE, dan kini menghadapi ancaman pidana meski telah menjalankan prosedur jurnalistik.

Sekretaris Jenderal Majelis Pers yang juga Ketua Umum Komite Wartawan Reformasi Indonesia (KWRI), Ozzy Sulaeman Sudiro, menyayangkan langkah Dewan Pers yang dinilainya pasif dalam memberikan perlindungan kepada jurnalis yang tengah dikriminalisasi.

“Dewan Pers seharusnya berdiri di garis depan untuk membela wartawan yang bekerja sesuai UU Pers. Jika karya jurnalistik bisa langsung diproses secara pidana, ini preseden buruk bagi kebebasan pers,” tegas Ozzy dalam keterangannya, Rabu (30/7/2025).

Menurut Ozzy, kasus seperti ini semestinya cukup diselesaikan melalui hak jawab dan mediasi etik, bukan dibawa ke ranah pidana dengan menggunakan pasal karet UU ITE. Ia juga menyoroti risiko pembungkaman terhadap fungsi kontrol sosial media.

“Kalau Dewan Pers hanya jadi penonton, atau keliru menilai kasus, ini bisa menjadi pembuka jalan pembungkaman pers secara sistemik,” tambahnya.

Kuasa hukum I Putu S, I Putu Wirata Dwikora, menyatakan bahwa kliennya telah mengikuti semua kaidah jurnalistik: melakukan konfirmasi ke pemilik SPBU, Dinas PUPR Jembrana, hingga narasumber warga setempat. Bahkan, hak jawab telah ditawarkan secara resmi, namun tidak direspons oleh pihak pelapor.

“Semua prosedur jurnalistik dijalankan. Klien kami hanya menyuarakan keresahan publik. Jika media tidak bisa mengungkap fakta seperti ini, lalu siapa lagi?” ucap Dwikora.

Ia menegaskan bahwa penyebutan nama dalam berita pun tidak bersifat langsung, karena menggunakan nama samaran demi menjaga etika dan kehati-hatian redaksi. Dalam perizinan resmi, pemilik SPBU tertera atas nama Dewi Supriyani, sementara dalam pemberitaan disebutkan ‘Anik Yahya’.

Asosiasi Wartawan Demokrasi Indonesia (AWDI) juga mengecam pelimpahan perkara ini ke Kejari. Dalam surat resmi bernomor 140/INV./DPP/AWDI/BL/VII/2024, AWDI meminta peninjauan kembali kasus ini dan mendesak agar proses pidana dihentikan.

Ketua DPP AWDI, Budi Wahyudin Syamsu, menyatakan bahwa karya jurnalistik I Putu S merupakan produk yang sah secara etik dan bertujuan untuk kepentingan publik.

“Tidak ada unsur pemerasan, pencemaran nama baik, atau penyalahgunaan profesi. Ini murni produk jurnalistik yang dilindungi Undang-Undang,” tegas Budi.

AWDI mengingatkan bahwa UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers telah menjamin kebebasan pers dan perlindungan terhadap jurnalis yang bekerja sesuai kode etik. Bila karya jurnalistik bisa langsung dipidana tanpa melewati mekanisme penyelesaian pers, maka masa depan demokrasi lokal sangat terancam.

Catatan Redaksi
Kasus ini adalah refleksi nyata dari ancaman kriminalisasi terhadap jurnalisme kritis. Jika wartawan yang menyuarakan kepentingan publik bisa dipidanakan, maka bukan hanya kemerdekaan pers yang terancam, masyarakat pun kehilangan hak atas informasi yang jujur dan faktual. (Smty/Red)

© Copyright 2022 - Bali Berkabar