Jembrana, baliberkabar.id – Polemik pembatalan sertifikat tanah milik Ni Wayan Dontri di Desa Penyaringan, Jembrana, makin memanas. Perbekel Desa Penyaringan, I Made Dresta, mengaku terseret dalam masalah ini setelah mencabut tanda tangan atas arahan Badan Pertanahan Nasional (BPN), langkah yang kini justru memunculkan kontroversi hukum.
Dresta mengaku awalnya tidak paham bahwa pencabutan tanda tangan menjadi syarat pembatalan sertifikat SHM Nomor 7395. “Awalnya saya tidak tahu persis masalahnya. Banyak surat masuk, saya tidak hafal semua nama warga. Ketika diminta solusi oleh BPN, kami menindaklanjuti sesuai arahan,” ungkapnya, Kamis (18/9/2025).
Pihak desa bersama kepala dusun mencabut tanda tangan setelah BPN menyebut ada tumpang tindih dan cacat administrasi. Namun, Dresta mengaku tidak mendapat penjelasan rinci terkait permohonan pembatalan dari pihak lain.
Perbekel merasa langkahnya mengikuti arahan BPN malah berbalik menjadi masalah hukum. Hingga kini, pihak desa belum menerima surat keputusan resmi pembatalan sertifikat.
“Kami kaget langkah ini justru berujung masalah hukum. Semua dilakukan atas dasar solusi dari BPN,” tegas Dresta.
Kasus ini menjadi sorotan publik setelah kuasa hukum Ni Wayan Dontri, Veronika L. Giron, melaporkan dugaan korupsi ke KPK pada 10 September 2025. Laporan menyorot Tim Penyelidik Ditreskrimsus Polda Bali, pejabat dan petugas BPN, serta pihak swasta PT Sungai Mas Indonesia.
Menurut Veronika, pembatalan sertifikat mengabaikan Pasal 32 ayat (2) PP Nomor 24 Tahun 1997, yang membatasi keberatan terhadap sertifikat hanya lima tahun sejak diterbitkan. “Pembatalan ini diduga mengandung penyalahgunaan wewenang jabatan,” ujarnya.
Sementara itu, masyarakat menunggu kepastian hukum dan kejelasan dari BPN maupun aparat desa. Pencabutan tanda tangan yang awalnya dimaksud sebagai solusi, kini justru menjadi bola liar yang terus memunculkan pertanyaan dan sorotan publik. (Smty)
Social Header