Tangkapan layar dari akun Facebook pribadi Gede Pasek Suardika yang mengunggah komentar mengenai dakwaan terhadap pasangan suami istri penjual sayur.
Denpasar, Baliberkabar.id – Praktisi hukum sekaligus tokoh politik, Gede Pasek Suardika (GPS), memberikan komentar keras terhadap proses hukum yang menjerat pasangan muda penjual sayur di Denpasar. Keduanya dijerat pasal pencurian dengan pemberatan setelah mengambil peralatan catering sebagai jaminan utang yang tak kunjung dibayar.
Melalui akun media sosial pribadinya, GPS menyebut kasus ini lebih tepat dikategorikan sebagai kriminalisasi.
“Kok segininya pelaksanaan penegakan hukum kita? Jujur sedih saja melihat penegakan hukum yang lebih pas terlihat kriminalisasi,” tulis GPS.
Ia menilai perkara ini seharusnya bisa diselesaikan dengan restoratif justice, bukan dipaksakan menjadi perkara pidana pencurian. Apalagi, barang-barang yang sempat disita sudah dikembalikan utuh setelah utang dilunasi.
“Kalau tidak bisa restoratif justice ya bebaskan saja sudah. Di Lapas juga akan habiskan uang negara untuk membiayai konsumsi pelaku yang sebenarnya bukan penjahat. Biar jadi efek jera bagi orang yang tidak suka bayar utang lalu berlindung dengan pasal model begini,” tegasnya.
Kasus ini bermula pada 20 September 2024, ketika pasangan Putu Prasuta dan Ni Wayan Diantari mendatangi gudang catering di Jalan Drupadi, Denpasar, untuk menagih piutang senilai Rp10,4 juta. Karena tak kunjung dibayar, keduanya mengambil sejumlah barang sebagai jaminan, antara lain dua unit freezer dan dua kompor gas.
Keduanya menyampaikan bahwa barang tersebut akan dikembalikan setelah utang dilunasi. Aksi ini bahkan disaksikan pecalang dan warga sekitar. Namun, pemilik catering melaporkannya ke polisi.
Pasangan tersebut kemudian didakwa melanggar Pasal 363 Ayat (1) KUHP tentang pencurian dengan pemberatan, dengan ancaman hukuman hingga tujuh tahun penjara.
Tim kuasa hukum dari LBH Taksu Bali menilai perkara ini adalah bentuk kriminalisasi. Menurut mereka, tidak ada niat jahat (mens rea) karena barang-barang yang disita telah dikembalikan begitu utang dibayar pada 23 September 2024.
“Perbuatan ini berawal dari hubungan hutang-piutang. Unsur pencurian jelas tidak terpenuhi,” ujar kuasa hukum.
Selain itu, LBH Taksu Bali juga menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses penyidikan, mulai dari penyitaan mobil terdakwa tanpa izin pengadilan, dugaan permintaan uang oleh oknum penyidik, hingga pemeriksaan tanpa pendampingan hukum.
GPS menilai perkara yang berawal dari urusan piutang seharusnya tidak menguras energi maupun biaya negara. “Hanya habiskan uang negara saja untuk penanganan kasus seperti ini,” katanya.
Ia berharap jaksa dan majelis hakim lebih mengedepankan rasa keadilan substantif ketimbang terjebak pada tafsir sempit pasal pidana.
“Semoga terdakwa dan tim pembelanya diberikan ketabahan serta jalan keluar terbaik. Utamakan keadilan, jangan terjebak tafsir sempit tekstual dalam penegakan hukum,” pungkas GPS. (Smty)
Social Header