Bogor, baliberkabar.id - Pembangunan Gedung Olahraga Masyarakat (GOM) di kawasan Setu Cibaju menuai sorotan dari aktivis lingkungan. Proyek tersebut diduga berdekatan dengan Garis Sempadan Setu (GSS) yang diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Permen PUPR) Nomor 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai dan Garis Sempadan Danau.
Ketua Lembaga Selamatkan Lingkungan Hidup, Shinta Aryana, menilai proyek tersebut harus dikaji ulang secara teknis agar tidak menimbulkan pelanggaran terhadap aturan perlindungan lingkungan hidup.
“Melihat persoalan ini, sebaiknya dilakukan kajian teknis terlebih dahulu oleh dinas-dinas terkait. Dalam setiap pembangunan, harus ada mekanisme yang ditempuh melalui Dinas PUPR sebagai pihak yang berwenang mengeluarkan rekomendasi siteplan proyek,” ujar Shinta, Senin (28/10/2025).
Menurutnya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) memiliki kewenangan penting dalam mengkaji kepatutan dan kelayakan lingkungan dari proyek pembangunan. Sementara Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman dan Pertanahan (DPKPP) bertanggung jawab terhadap penataan ruang wilayah dan tata bangunan sesuai rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor.
“Dinas-dinas ini saling terhubung. Jadi aneh kalau sampai ada kekeliruan dalam penentuan batas GSS,” ujarnya menegaskan.
Permen PUPR Nomor 28 Tahun 2015 menetapkan garis sempadan sungai dan danau sebagai batas perlindungan lingkungan.
Aturan ini mengatur jarak minimal antara bangunan dan badan air, yang berbeda tergantung pada kondisi wilayah, baik di daerah perkotaan maupun di luar kota.
“Kalau mengacu pada ketentuan itu, jarak minimal bangunan dari sempadan sungai atau setu bisa mencapai 50 meter atau lebih, tergantung hasil kajian ilmiah,” jelas Shinta.
Kajian tersebut, lanjutnya, meliputi berbagai aspek seperti:
- Kedalaman dasar setu dan endapan sedimen,
- Sumber mata air yang mengalir dari setu ke irigasi,
- Daya tampung curah hujan, serta
Fungsi ekologis setu terhadap ekosistem dan masyarakat sekitar.
“Semua itu harus dikaji sebelum proyek direalisasikan. Hasil kajian menjadi dasar hukum kuat untuk menentukan titik radius aman antara bangunan dan GSS,” tambahnya.
Lebih jauh, Shinta menyoroti tanggung jawab pemerintah daerah dalam menjalankan prinsip perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH).
Menurutnya, pemerintah dapat dianggap lalai bila tidak menegakkan aturan lingkungan atau menerbitkan izin tanpa kajian dampak lingkungan yang memadai.
“Pemerintah punya kewajiban mencegah, menanggulangi, dan memulihkan kerusakan lingkungan. Jika izin diberikan tanpa kajian AMDAL atau tanpa memperhatikan daya dukung lingkungan, itu bentuk kelalaian yang berpotensi melanggar hukum,” tegas Shinta.
Ia menambahkan, pelanggaran lingkungan dapat berimplikasi pada tiga jenis sanksi hukum, yakni:
1. Sanksi administratif, seperti pembekuan atau pencabutan izin;
2. Sanksi pidana, bagi pejabat atau pihak yang terbukti lalai atau melakukan pelanggaran hukum lingkungan; dan
3. Tanggung jawab perdata, berupa gugatan ganti rugi untuk memulihkan kerusakan lingkungan.
“Pemerintah harus transparan dan hati-hati dalam setiap penerbitan izin. Jangan sampai pembangunan yang seharusnya menyejahterakan masyarakat justru merusak lingkungan,” pungkas Shinta.
Dalam pelaksanaan proyek daerah, sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) biasanya terlibat, di antaranya:
Dinas PUPR, yang berwenang memberikan rekomendasi siteplan;
Dinas Lingkungan Hidup (DLH), yang mengkaji aspek lingkungan dan pengendalian pencemaran;
Dinas DPKPP, yang mengatur tata ruang dan kawasan permukiman; serta
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), yang memproses perizinan.
Dengan fungsi-fungsi yang saling terkait tersebut, Shinta menilai semestinya koordinasi antarinstansi berjalan baik agar tidak terjadi kesalahan dalam pelaksanaan pembangunan di kawasan yang memiliki fungsi perlindungan lingkungan seperti Setu Cibaju. (Tim/Red)


Social Header