Photo Doc: Tersangka Ngakan Anom Diana Kesuma Negara saat digelandang Tim Penyidik Kejati Bali.
Denpasar - baliberkabar.id | Dengan penuh keyakinan, Kejaksaan Tinggi Bali secara bertahap dan sistematis mengurai benang kusut kasus korupsi terkait perizinan rumah subsidi yang terjadi di Kabupaten Buleleng.
Dalam kasus tersebut, terungkap adanya indikasi pemerasan dalam proyek rumah subsidi terhadap salah satu pengembang perumahan yang dilakukan oleh Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Buleleng, Made Kuta, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bali, Ketut Sumedana dalam keterangan pers, Senin (24/3/2025).
Tersangka Kuta diduga meminta "biaya tambahan" sebesar Rp10 juta hingga Rp20 juta untuk setiap unit rumah subsidi yang dibangun. Dari total 419 unit yang telah direalisasikan, nilai pungutan liar tersebut diperkirakan mencapai miliaran rupiah.
“Ini jelas sangat merugikan masyarakat. Dana subsidi yang seharusnya dinikmati warga berpenghasilan rendah justru diselewengkan demi kepentingan pribadi,” tegas Sumedana, mantan Kapuspenkum Kejagung itu.
Rumah subsidi semestinya dipasarkan dengan harga sekitar Rp 140 juta setelah mendapatkan subsidi dari pemerintah.
Harga awalnya berkisar Rp 200 juta, dengan sebagian subsidi biasanya disalurkan melalui bank.
Melalui praktik pemerasan tersebut, beban biaya menjadi semakin besar sehingga masyarakat harus menanggungnya.
Sumedana menyatakan bahwa hal itu merupakan penyimpangan serius dalam penyaluran rumah subsidi di Buleleng. Ia menyebutkan bahwa banyak unit justru dibeli oleh warga yang tergolong mampu.
Dalam penyelidikan, terungkap adanya individu yang memiliki hingga tiga unit rumah subsidi. Setelah pembelian, rumah tersebut tidak dihuni, melainkan dijadikan instrumen investasi.
“Ini jelas merupakan pelanggaran aturan. Rumah subsidi seharusnya tidak digunakan sebagai investasi. Kami juga menemukan hampir 300 KTP milik masyarakat kecil yang disewa oleh pengembang demi kelancaran administrasi,” ungkapnya.
Meski demikian, Kejati menegaskan bahwa pihaknya tidak akan menyita rumah yang telah ditempati oleh masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
“Tapi kalau ada yang punya sampai empat unit, itu jelas akan kami ambil alih. Itu tidak wajar,” tegas Sumedana.
Pada kesempatan tersebut, ia juga mengingatkan para pejabat di daerah agar berhenti memeras pengusaha yang ingin mengurus izin.
Menurutnya, praktik semacam ini menciptakan iklim investasi yang buruk dan membebani para pelaku usaha.
“Kami menerima banyak laporan. Ada yang dikenai hingga Rp 80 juta hanya untuk mengurus izin. Tapi sulit dibuktikan karena pengusaha takut bicara. Ini harus dihentikan, karena sangat merugikan daerah,” tegasnya.
Made Kuta saat dibawa keluar dari kantor Kejari Buleleng kemudian digelandang ke Kejati Bali dan di tahan.
Sebagaimana diberitakan, Kejati Bali menangkap Kepala DPMPTSP Buleleng, Made Kuta. Pria asal Desa Padangbulia itu sempat menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Negeri (Kejari) Buleleng pada Kamis (20/3/2025) pagi.
Penyidik Kejati Bali memutuskan menahan Made Kuta sekitar pukul 14.00 siang. Dia kemudian dibawa ke Lapas Kerobokan untuk menjalani penahanan.
Kejati Bali menyatakan Made Kuta telah melakukan pemerasan terhadap sejumlah pengembang rumah bersubsidi di Buleleng. Pemerasan terkait dengan proses perizinan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG).
Dalam melaksanakan aksinya, tersangka Made Kuta senantiasa meminta uang suap kepada para pengembang. Apabila para pengembang menolak memberikan uang tersebut, maka proses perizinan yang diajukan oleh para kontraktor akan dipersulit.
Selain itu, penyidik Kejati Bali juga menetapkan staf di Dinas PUTR Buleleng, Ngakan Anom Diana Kesuma Negara, sebagai tersangka.
Ngakan Anom diduga berkolaborasi dengan tersangka Made Kuta untuk memperlancar pengurusan perizinan. Dari aksinya itu ia diduga menerima uang sejumlah Rp 700 ribu dari setiap izin PBG yang diterbitkan. (Smty)
Social Header