Buleleng - baliberkabar.id | Sidang gugatan terkait kepemilikan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 364 kembali digelar di Pengadilan Negeri Singaraja dengan tergugat utama, Lars. Persidangan ini membahas pengalihan SHM 364 kepada Retno Damayanti melalui Akta Jual Beli (AJB) No. 56/2015 di kantor Notaris Gede Surata, yang didasarkan pada tiga akta pengikatan hukum (Akta 36, 37, dan 38) yang dibuat pada tahun 2008 di hadapan Notaris Farida.
Gugatan ini merupakan yang ketiga kalinya diajukan oleh penggugat, Ni Luh Sukerasih. Sebelumnya, gugatan pertama dengan No. 472/Pdt.G/2021/PN.SGR menuduh Akta 36 dan 37 sebagai dokumen palsu. Gugatan kedua, No. 832/Pdt.G/2023/PN.SGR, memutuskan bahwa yurisdiksi perkara ini berada di PTUN Denpasar. Kini, gugatan ketiga dengan No. 535/Pdt.G/2024/PN.SGR masih aktif di PN Singaraja.
Dalam persidangan 5 Maret 2025, ahli pertanahan I Komang Kawi Arta, SH., MKn, yang dihadirkan sebagai saksi ahli, memberikan keterangan bahwa SHM 364 tidak dapat digugat lagi karena AJB No. 56/2015 telah dibuat lebih dari lima tahun lalu.
Ia juga menegaskan bahwa LS melanggar hukum perdata dan pidana dengan mendapatkan akses terhadap minutasi AJB, yang merupakan dokumen rahasia negara dan hanya boleh dimiliki oleh Kantor BPN Buleleng.
“Minutasi AJB adalah dokumen rahasia negara yang hanya dimiliki oleh BPN. Jika ada pihak ketiga yang mendapatkan akses dan menyebarkannya, maka itu merupakan pelanggaran hukum,” ujar Komang Kawi Arta dalam persidangan.
Saksi ahli juga menegaskan bahwa pembuatan AJB dengan nilai Rp280 juta bukan merupakan perbuatan melawan hukum. Ia menjelaskan bahwa kontrak 36, 37, dan 38 mengizinkan penggunaan nilai tersebut. Lebih lanjut, ia membantah klaim penggugat yang menyatakan tidak memahami isi kontrak, karena Notaris Farida memiliki tanggung jawab hukum untuk menjelaskan isi perjanjian kepada para pihak sebelum ditandatangani pada tahun 2008.
Retno Damayanti, sebagai pemilik sah SHM 364, telah membayar pajak Villa Lux pada tahun 2014, yang juga telah dipertimbangkan oleh Kantor Pajak Buleleng.
Apabila merujuk pada Pasal 32 ayat (2) PP No.24/1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur batas waktu pengajuan gugatan terkait kepemilikan hak atau pembatalan yaitu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertifikat termasuk SHM.
Perolehan SHM 364 dilakukan dengan itikad baik karena semua dokumen terkait telah diserahkan kepada Notaris PPAT/Kantor Hukum Gede Surata sebelum AJB 56/2015 dibuat.
Dalam persidangan kali ini, Rabu (19/3), penggugat menghadirkan saksi ahli dari kalangan akademisi Undiksha.
Kadek Dewanta, SH (tengah) sebagai kuasa hukum Mr Lars.
Kadek Dewanta, SH dari Kantor Advokat Nawacita Law Office sebagai kuasa hukum tergugat, mengkritisi jalannya persidangan dengan menyatakan bahwa pihaknya telah terlebih dahulu menghadirkan saksi ahli, sementara penggugat justru berulang kali menunda persidangan.
“Kami telah menghadirkan saksi ahli terlebih dahulu, karena kami mengutamakan asas peradilan yang cepat, mudah, dan sederhana. Namun, pihak penggugat terus menunda-nunda. Ini sudah gugatan ketiga kalinya dengan hanya mengganti objek substansi gugatan. Lantas, apakah klien kami yang bersalah atau justru penggugat yang sedang mencari-cari celah?” ungkap Dewanta saat sidang pemeriksaan saksi ahli dari akademisi Undiksha yang dihadirkan oleh penggugat, yang dipimpin oleh Hakim Ketua I Gusti Ayu Kade Ari Wulandari, S.H, M.H, serta hakim anggota Made Astina, S.H, M.H dan Ni Putu Asih Yudiastri, S.H, M.H pada Rabu (19/3/2023).
Ia juga mempertanyakan integritas saksi ahli yang dihadirkan oleh penggugat.
“Kami melihat keterangan yang diberikan sangat subjektif. Ketika kami bertanya soal amnesti perjanjian bagi warga negara asing, saksi ahli menolak menjawab dengan alasan itu bukan kapasitasnya. Jika memang ahli dalam perjanjian, seharusnya ia memahami semua aspek terkait,” tambahnya.
Lebih lanjut, Dewanta menekankan bahwa SHM atau objek sengketa dalam perkara ini telah beberapa kali diuji di persidangan.
“Pada tahun 2021, klien kami sudah digugat dan akhirnya dimenangkan karena gugatan dicabut. Tahun 2023, penggugat kembali menggugat, tetapi eksepsi kami dikabulkan karena ini ranah PTUN. Sekarang muncul lagi gugatan ketiga dengan dasar akta yang sama,” ujarnya.
Terkait dengan akses data pribadi kliennya yang digunakan oleh penggugat, Dewanta menyatakan bahwa kliennya telah melaporkan tindakan tersebut kepada pihak berwajib.
“Penggugat mengajukan data pribadi klien kami, seperti KTP, paspor, dan minuta akta. Ini perbuatan yang tidak dibenarkan dan telah kami laporkan,” tegasnya.
Dalam persidangan saksi ahli dari akademisi Undiksha yang dihadirkan penggugat, disimpulkan bahwa akta 36 dan 37 adalah akta nominee, ahli menyimpulkan akta itu sebagai nominee.
“Dewanta mengatakan undang-undang pun tidak ada istilah akta nominee, namun ahli justru berani menyimpulkan sesuatu bahkan ahli berani mengesampingkan fakta hukum bahwa apa yang ahli nilai tersebut adalah sebuah akta otentik secara undang-undang dibuat oleh seorang pejabat umum berdasarkan perintah dan jabatan sesuai amanat undang-undang. Mungkin ahli melupakan bahwa sebuah akta otentik adalah sebuah bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian yang sempurna di mata hukum, sehingga tidaklah memerlukan alat bukti lain untuk mendukung kebenaran dan keabsahan dari akta otentik tersebut. Itu yang kami rasa ahli kemarin memberikan pandangan dan kesimpulan yang sifatnya subjektif dalam kapasitasnya sebagai ahli,” tutup Dewanta, kuasa hukum tergugat.
Sementara itu, Kuasa hukum LS, Komang Ekayana SH dari kantor hukum Amanda Law Office menyatakan kalau keterangan saksi ahli yang ia datangkan berkesesuaian dengan dalil-dalil dari penggugat.
"Ini mengarah ke Nominee, jadi perjanjian itu batal demi hukum. Dan masalah transaksi atau uang yang dipakai nanti kembali ke kesepakatan para pihak," terang Ekayana. (Smty)
Social Header