Breaking News

Buleleng Angkat Kembali Kisah Legendaris Lewat Bedah Buku “Jaya Prana Layonsari”

Buleleng — baliberkabar.id | "Bedah buku Jaya Prana Layonsari bukan hanya mengangkat kisah cinta tragis di masa lampau, tetapi juga menghidupkan kembali semangat mencintai budaya sendiri lewat kegiatan membaca yang menyenangkan dan bermakna".

Pemerintah Kabupaten Buleleng kembali menunjukkan komitmennya dalam membangun budaya literasi yang berakar pada kearifan lokal. Melalui kegiatan bedah buku “Jaya Prana Layonsari” karya Putu Satriya Koesuma, warisan sastra daerah dihidupkan kembali dan diperkenalkan kepada generasi muda dalam balutan diskusi yang edukatif. 

Kegiatan yang berlangsung di Aula STAHN Mpu Kuturan Singaraja ini diinisiasi oleh Dinas Arsip dan Perpustakaan Daerah (DAPD) Buleleng. Program ini menjadi bagian dari strategi nasional penguatan literasi berbasis budaya, sejalan dengan kebijakan Perpustakaan Nasional serta dukungan Dana Alokasi Khusus (DAK) Non Fisik bidang perpustakaan. Selasa, (27/5/2025).

Plt. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Buleleng, I Putu Ariadi Pribadi, yang hadir mewakili Bupati Buleleng, menegaskan bahwa literasi bukan hanya soal membaca teks, tetapi juga memahami nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

“Jaya Prana Layonsari mengajarkan tentang cinta, ketulusan, dan keberanian menghadapi ketidakadilan. Inilah bentuk literasi yang mendidik, karena membentuk karakter dan empati,” ujarnya.

Kepala DAPD Buleleng, Made Era Oktarini, dalam sambutannya menyebutkan bahwa kegiatan ini bukan hanya sebatas membedah isi buku, tetapi juga membuka ruang dialog lintas generasi untuk memahami kembali akar budaya Buleleng.

“Kami ingin menjadikan sastra lokal sebagai jembatan untuk menggali kembali jati diri kita. Buku ini adalah pintu masuk untuk memahami nilai-nilai kemanusiaan dan sejarah lisan yang nyaris terlupakan,” ungkapnya.

Penulis buku, Putu Satriya Koesuma, menceritakan bahwa Jaya Prana Layonsari lahir dari proses riset panjang atas lebih dari 30 sumber, termasuk naskah-naskah kuno dari berbagai daerah di Bali. Ia mengemas kisah legendaris itu dalam narasi modern agar tetap relevan dan menarik bagi pembaca masa kini.

“Saya ingin menjahit kembali pesan-pesan moral dari naskah lama, lalu menyampaikannya dalam bahasa yang dapat dipahami anak muda hari ini. Inilah bentuk pelestarian yang hidup, bukan hanya sebagai arsip,” jelasnya.

Kegiatan ini diikuti oleh sekitar 60 peserta dari berbagai unsur, mulai dari guru, mahasiswa, siswa, hingga pegiat literasi dan perwakilan perangkat daerah. Diskusi berlangsung dinamis dengan sorotan pada bagaimana sastra bisa menjadi alat untuk memperkuat identitas lokal sekaligus alat pendidikan karakter.

Melalui kegiatan ini, Pemkab Buleleng berharap literasi tidak dipandang sebagai aktivitas elitis, melainkan sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari yang menyentuh hati dan menggerakkan pikiran. (Smty)
© Copyright 2022 - Bali Berkabar