Breaking News

Dalang Penyelundup Penyu Dituntut Ringan, Cermin Tumpulnya Hukum bagi Pelaku Kejahatan Lingkungan

Terdakwa Siti Aminah saat digelandang polisi dan barang bukti penyu yang berhasil diamankan.

Jembrana - baliberkabar.id | Siti Aminah (48), sosok yang disebut sebagai pengendali utama dalam kasus penyelundupan 12 ekor penyu di Bali, akhirnya berhasil diamankan setelah sempat buron selama tujuh bulan. Namun, publik dikejutkan oleh tuntutan jaksa yang dinilai sangat ringan: hanya satu tahun penjara dan denda Rp 5 juta, subsider satu bulan kurungan. Tuntutan ini memicu sorotan tajam terhadap ketegasan hukum Indonesia dalam menangani kejahatan terhadap satwa dilindungi.

Dikutip dari berbagai sumber media nasional, Siti bukan sekadar pelaku lapangan. Ia diduga kuat sebagai otak dari keseluruhan operasi penyelundupan penyu, satwa laut yang secara hukum dilindungi dan terancam punah. Dari perencanaan penangkapan di wilayah perairan Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, hingga pengiriman penyu ke pembeli di Denpasar, semua terorganisir di bawah kendalinya.

"Sesuai dengan peran terdakwa sebagai otak utama dalam kasus penyelundupan penyu,” kata Gedion Ardana Reswari, Humas Kejari Jembrana, sebagaimana dikutip dari beberapa media pada Senin (19/5/2025).

Modus kejahatan yang digunakan pun tergolong sistematis. Siti memerintahkan dua orang bawahannya, Taufik dan I Komang Suama, untuk menangkap penyu menggunakan jaring. Penyu hasil tangkapan kemudian dikirim ke Bali oleh dua pelaku lain, Selamet Khoironi, residivis kasus serupa, dan Ahmad Sodikin, menggunakan kendaraan pikap.

Namun upaya itu berhasil digagalkan oleh aparat kepolisian Jembrana pada 27 Mei 2024. Sebanyak 12 ekor penyu diamankan, dan dari pemeriksaan para tersangka, nama Siti Aminah muncul sebagai otak intelektual. Siti sempat melarikan diri dan baru berhasil ditangkap setelah tujuh bulan dalam pelarian.

Yang menjadi pertanyaan publik adalah mengapa, dengan bukti dan peran dominan Siti dalam jaringan ini, tuntutan hukum terhadapnya begitu ringan. Ia dijerat dengan Pasal 40 ayat 2 jo. Pasal 21 ayat 2 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Namun, penerapan hukum yang minimalis justru dinilai mencederai upaya pelestarian lingkungan.

Penyu bukan sekadar spesies laut; ia berperan vital menjaga keseimbangan ekosistem. Setiap tindakan perburuan dan penyelundupan terhadap satwa ini membawa konsekuensi ekologis jangka panjang. Karena itu, pemberian hukuman yang tidak sepadan dengan dampak kejahatannya bisa menjadi preseden buruk menumbuhkan persepsi bahwa pelanggaran terhadap hukum konservasi masih bisa dinegosiasikan.

Tuntutan ringan ini mempertegas realitas bahwa kejahatan lingkungan masih belum menjadi prioritas dalam sistem hukum kita. Saat hukum bersikap lunak terhadap perusak alam, maka upaya konservasi hanya akan menjadi jargon tanpa nyawa. Kasus Siti Aminah adalah satu dari banyak contoh bagaimana pelaku utama bisa lolos dari jeratan maksimal hukum, padahal kerusakan yang ditimbulkan menyasar masa depan ekosistem dan generasi berikutnya.

Sudah waktunya hukum lingkungan tak hanya ditegakkan, tapi juga dirasakan keadilannya, bukan malah memberi ruang nyaman bagi pelaku kejahatan ekologi. (Smty)

(Laporan ini disusun berdasarkan informasi yang dikutip dari berbagai sumber media yang telah dipublikasikan sebelumnya.)

© Copyright 2022 - Bali Berkabar