Oleh Redaksi
Dalam berbagai kasus penyelundupan dan pemburuan satwa liar di Indonesia, khususnya penyu, kita kerap menyaksikan ironi hukum: pelaku bebas terlalu cepat, vonis terlalu ringan, dan kerusakan alam terlanjur parah. Padahal, penyu bukan hanya spesies purba yang berperan penting dalam keseimbangan ekosistem laut, tetapi juga dilindungi penuh oleh hukum.
Namun mengapa vonis hukum terhadap pelaku kejahatan ini sering begitu ringan, bahkan seperti memberi "lampu hijau" kepada pemburu berikutnya?
Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jelas menyatakan bahwa setiap orang dilarang memburu, menyimpan, memperdagangkan, atau membunuh satwa dilindungi. Pelanggaran atas aturan ini dapat dihukum penjara hingga 5 tahun dan denda hingga Rp100 juta.
Namun celakanya, hukum ini tidak menyebut batas minimal hukuman, sehingga pelaku bisa saja divonis hanya 1 atau 2 bulan penjara, bahkan bebas hanya karena denda dibayar.
Dalam kasus terbaru di Bali, misalnya, pelaku penyelundupan 29 ekor penyu hanya dijatuhi vonis ringan meski kejahatan mereka jelas dan berdampak besar. Bahkan ada yang hanya dihukum 1 bulan 15 hari dan denda Rp3 juta. Bandingkan dengan dampak ekologis yang ditimbulkan: satu penyu hijau bisa bertelur lebih dari 100 butir per musim, dan kematian satu induk berarti hilangnya generasi masa depan.
Seringkali tuntutan jaksa juga sangat ringan, seolah menyiratkan bahwa kejahatan terhadap satwa bukanlah sesuatu yang serius. Hakim, di sisi lain, kerap menimbang faktor subjektif seperti kemiskinan pelaku atau ketidaktahuan hukum, tanpa mempertimbangkan bahwa tindakan tersebut adalah bagian dari rantai kejahatan terorganisir lintas daerah, bahkan negara.
Ketimpangan ini terjadi karena tidak semua aparat penegak hukum memiliki wawasan ekologis. Padahal, dalam konteks krisis iklim dan ancaman kepunahan spesies, kejahatan terhadap alam harus dilihat sebagai kejahatan terhadap masa depan umat manusia.
Minimnya perhatian media arus utama, lemahnya pengawasan publik, serta belum adanya pengadilan khusus lingkungan hidup menjadi alasan mengapa keadilan ekologis sering tidak tercapai. Lembaga-lembaga konservasi dan LSM kerap bekerja keras menyelamatkan satu ekor penyu, tetapi dalam semalam puluhan dibantai oleh tangan-tangan yang tahu celah hukum.
Kita tak bisa hanya mengandalkan regulasi semata. Diperlukan pendekatan terintegrasi: pendidikan hukum lingkungan bagi aparat, revisi regulasi konservasi, serta penguatan penegakan hukum dengan cara yang adil namun tegas.
Penyu adalah simbol ketahanan laut kita. Ketika hukum gagal melindungi makhluk yang telah berenang di samudra sejak zaman dinosaurus, maka kita perlu bertanya: apakah hukum masih punya nyali menghadapi kehancuran ekologi?
Redaksi menyerukan agar para penegak hukum lebih berani dan adil dalam menindak kejahatan terhadap satwa liar. Kita tidak sedang menuntut hukuman seberat-beratnya, melainkan hukuman yang sepadan, memberi efek jera, dan berpihak pada masa depan.
Social Header