Breaking News

Sidang ke V Laporan ITE Mantan Bupati Suradnyana, Saksi: Ada Perbedaan HPL Tahun 1976 dengan HPL Tahun 2020


Buleleng - Bali Berkabar | Persidangan Ke Lima dengan agenda mendengar keterangan tiga orang saksi yang dihadirkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Buleleng, yakni Ketut Mariningsih, SH, (Kabid Pengelolaan Barang Milik Daerah, BPKPD Buleleng), Nyoman Cakra Mulyadi, SE, MAP (kasubbid Pengamanan dan Penilaian), serta Komang Aris Supra Wahyudi, mantan buruh proyek saksi dari korban Putu Agus Suradnyana. Senin (27/11/2023).

Dari hasil pemeriksaan terhadap dua saksi dari BPKPD Kabupaten Buleleng terungkap kejanggalan Sertifikat HPL No.1 Perajakan Tahun 1976 dengan Sertifikat HPL Pengganti No 1 Pejarakan Tahun 2020.

Kedua saksi yang dihadirkan oleh pihak pelapor itu bersikukuh bahwa Sertifikat HPL Pengganti Tahun 2020 merupakan sertifikat pengganti Sertifikat HPL No 1 Tajun 1976. Namun keduanya tidak sadar bahwa ada kedua sertifikat itu ada perbedaan yang sangat substansial yang tidak seharusnya terjadi.

Dalam Sertifikasi HPL No 1 Tahun 1976 diperuntukkan untuk pengapuran lahan. Sedangkan dalam Sertifikasi HPL Pengganti Tahun 2020 tidak dicantumkan peruntukan lahan tersebut.

Saya persilahkan kepada kuasa hukum terdakwa untuk mengajukan pertanyaan kepada saksi,” ujar Majelis Hakim kepada tim kuasa hukum terdakwa.

Diberikan kesempatan untuk bertanya, kuasa hukum terlapor, IGP Adi Kusuma Jaya dan Eko Sasi Kirono langsung ngegas.

Tidak hanya bertanya, Kuasa hukum Tirtawan itu  juga menunjukan sejumlah dokumen antara lain LHP BPK Republik Indonesia Perwakilan Denpasar tahun 2019 dan copy HPL No 1/Desa Pejarakan tahun 1976 dan HPL Pengganti No 1/Desa Pejarakan tahun 2020.

Saat diperlihatkan photocopy Sertifikat HPL No. 1 Tahun 1976 dab Sertifikat HPL Pengganti No 1 Tahub 2020, Saksi Catra Mulyadi baru menyadari adanya perbedaan dua helai sertifikat untuk satu objek tanah yang menjadi sengketa itu.

Ya, ada perbedaan HPL No 1 Desa Pejarakan tahun 1976 dengan HPL Pengganti No 1 Desa Pejarakan tahun 2020, pada copy HPL No 1 Desa Pejarakan tertera untuk pengapuran lahan, sementara pada HPL Pengganti tidak tertera,” ucap Cakra Mulyadi didepan ketua majelis IGM Juliartawan didampingi Made Kushandari dan IGA Kade Ari Wulandari di ruang Sidang Cakra, Pengadilan Negeri Singaraja.

Cakra Mulyadi selaku Kasubbid Pengamanan dan Penilaian Aset BPKPD Buleleng, juga melakukan  pengakuan fatal yang menguntungkan posisi terdakwa Tirtawan dengan membenarkan adanya temuan BPK terkait pengelolaan asset Pemkab Buleleng seluas 45 hektar di Bantu Ampar. 

Dirinya juga mengakui adanya SHM warga bernama Nyoman Parwata yang terbit pada tahun 2007.

Dalam kapasitasnya sebagai Kasubbid PPA sejak tahun 2018, Cakra Muliadi menjelaskan penggantian HPL No 1 Desa Pejarakan tahun 1976 dilakukan karena sertifikat aslinya ikut terbakar saat gedung BPN terbakar pada tahun 1999.

“Seluruh dokumen termasuk HPL No 1 tahun 1976 terbakar, sehingga untuk melengkapi pencatatan aset yang dilakukam tahun 2015, dimohonkan HPL Pengganti kepada BPN, berdasarkan berita acara terbakar dan copy HPL No 1 Desa Pejarakan tahun 1976. HPL Pengganti terbit tahun 2020," jelasnya.

Sesuai rekomendasi BPK, juga sudah dibuatkan MoU pemanfaatan lahan seluas 43,5 hektar untuk kegiatan pariwisata.

“Baru 1 dari 4 perusahaan yang dibuat, kalau ndak salah atas nama PT. Prapat Agung, yang lainnya belum,” tandas Cakra yang juga mengakui sebelum HPL Pengganti terbit sudah ada SHM atas nama Parwata pada lahan tersebut.

Menyikapi keterangan saksi Cakra Muliadi dan Mariningsih yang lebih banyak mengatakan tidak tahu karena baru menjabat sebagai Kabid Pengelolaan Barang Milik Daerah, terdakwa melalui kuasa hukumnya meminta majelis hakim agar mencatat keterangan saksi.

Mohon yang mulia, keterangan saksi dicatat,” pinta IGP Adi Kusuma Jaya yang biasa disapa Gus Adi.

Gus Adi pun meminta majelis hakim untuk memanggil Kepala BPKPD Buleleng sebagai saksi karena kedua staf BPKPD itu dianggap tidak layak menjadi saksi.

Sementara terdakwa Tirtawan menyatakan keterangan saksi menunjukkan HLP No 1 Desa Pejarakan tahun 1976 bukan dimohonkan untuk diganti, tapi dirubah.

“Selain peruntukan sebelumnya HPL No 1 tahun 1976 diterbitkan untuk kegiatan pengapuran lahan, kemudian diterbitkan HPL tahun 2020 tanpa keterangan, dokumen dan surat ukurnya tahun 1971, tidak sesuai SOP sehingga patut diduga cacat secara administratif kalau tidak mau dikatakan bodong,” pungkasnya.

Sedangkan Isnarti Jayaningsih dan Heri selaku jaksa penuntut umum (JPU) meminta ketegasan dari saksi Cakra Mulyadi terkait kepemilikan asset sesuai HPL No 1 Desa Pejarakan tahun 1976 atas nama Pemkab Buleleng, bukan atas nama korban, Putu Agus Suradnyana.

Ya, asset dicatatkan sebagai milik Pemkab Buleleng dan yang mohon penggantian juga Pemkab Buleleng,” jawabnya.

Setelah pemeriksaan 3 orang saksi, Ketua Majelis Hakim Juliartawan kembali memberikan kesempatan kepada JPU untuk menghadirkan 6 dari 12 saksi yang diajukan, namun JPU hanya menyanggupi 2 orang saksi.

Baik, untuk memberikan kesempatan kepada penuntut umum menghadirkan saksi, maka persidangan perkara No. 109/Pid.Sus/2023/PN.Sgr ditunda dan dilanjutkan pada tanggal 11 Desember 2023 dengan agenda pemeriksaan saksi,” ucap Majelis hakim mengakhiri sidang.

Ditemui seusai sidang, terdakwa Tirtawan mengatakan, tanah sudah didistribusikan oleh pemerintah untuk 55 warga atas nama Raman dkk untuk hak milik tahun 1982, sehingga tidak mungkin kembali ke tahun 1976.

HPL1976 otomatis tidak berlaku ketika sudah diterbitkan SK Mendagri 1982. Pemerintah secara resmi telah mendistribusikan tanah Batu Ampar, Desa Pejarakan kepada 55 warga Raman dan kawan-kawan untuk hak milik berdasarkan SK Mendagri no 171/HM/DA/82 yang dilandasi surat Bupati dan Kepala BPN Buleleng Tahun1982, kenapa tanah sudah menjadi milik warga dicatatkan sebagai aset?” tanya Tirtawan ditujukan kepada Pemkab Buleleng. (Tim/Sdn/Red)

© Copyright 2022 - Bali Berkabar