Buleleng - baliberkabar.id | Hari Suci Galungan kembali dirayakan umat Hindu dengan penuh suka cita sebagai wujud nyata kemenangan Dharma melawan Adharma. Perayaan yang datang setiap 210 hari ini disemarakkan dengan berbagai ritual yang menjadi simbol sradha dan bhakti umat kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Salah satu simbol utama yang selalu hadir dalam perayaan Galungan adalah penjor.
Jro Kadek Satria, Penyuluh Agama Hindu dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buleleng.Penjor tidak hanya menjadi hiasan semata, namun menyimpan makna spiritual dan filosofis yang mendalam. Hal ini disampaikan oleh Jro Kadek Satria, Penyuluh Agama Hindu dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buleleng, saat dikonfirmasi pada Selasa (22/4).
“Segala kemeriahan ini sebagai simbol bagaimana ritual yang dilakukan umat kita untuk melakukan pemujaan besar (Piodalan Jagat) menuju pada kemakmuran. Dalam Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I – IX, dinyatakan bahwa penjor adalah simbol Gunung Agung. Segala pala bungkah, pala gantung, dan sajen pada sanggar penjor, melambangkan persembahan terhadap Bhatara di Gunung Agung (Bhatara Giri Putri),” ungkapnya.
Lebih lanjut, Jro Satria menjelaskan bahwa dengan adanya gunung timbullah kemakmuran. Oleh karena itu, penjor memiliki posisi penting dalam perayaan Galungan sebagai sarana pemujaan kepada para Dewa yang bersthana di Gunung Agung, menggunakan sarana-sarana alam yang tersedia.
Ia pun menegaskan pentingnya pembuatan penjor sesuai dengan ketentuan tafsir agama agar tidak menyimpang dari makna sebenarnya. Saat ini dikenal dua jenis penjor, yaitu Penjor Upakara dan Penjor Dekorasi.
“Penjor Upakara merupakan penjor yang digunakan dalam setiap pelaksanaan upacara. Biasanya, penjor ini berisi berbagai sarana penting seperti hasil bumi dari kebun atau tegalan kita, seperti pala bungkah, palawija, palagantung, palarambat, dan berbagai tumbuhan lainnya yang melambangkan kemakmuran,” jelasnya.
Sementara itu, Penjor Dekorasi dibuat untuk tujuan estetika semata, bukan untuk kebutuhan upacara. Namun, ia mengingatkan bahwa penggunaan bahan seperti plastik atau stereofom dalam penjor dekoratif hendaknya dikurangi, mengingat adanya Peraturan Daerah Provinsi Bali yang mengatur tentang pengurangan sampah plastik.
“Untuk perayaan Galungan, hendaknya penjor dibuat dengan bahan-bahan alami yang sesuai dengan hasil bumi di daerah masing-masing. Daerah penghasil padi, maka padi yang dipersembahkan. Jika jagung atau buah-buahan, maka itu yang digunakan. Ini akan memperkaya khazanah penjor di setiap wilayah, serta menjadi wujud nyata Galungan sebagai Piodalan Jagat,” tegasnya.
Dari sisi filosofis, bentuk penjor juga sarat akan makna. Ia menggambarkan sosok Naga Basuki sebagai simbol kemakmuran. Bambu sebagai badan naga dan lambang Dewa Brahma, janur muda sebagai kulit naga, dedaunan sebagai rambut naga dan simbol Dewa Sangkara. Kemudian hasil bumi yang dikaitkan sebagai lambang perut naga dan simbol Dewa Wisnu.
Bagian akhir dari penjor juga memiliki makna spiritual. Sampian penjor yang menyerupai ekor naga melambangkan Parama Siwa, Sanggah penjor di bagian bawah mewakili kepala naga, dan kain putih kuning sebagai wastra melambangkan Dewa Mahadewa dan Dewa Iswara.
“Demikianlah makna penjor yang menjadi pelengkap utama Hari Suci Galungan. Terutama generasi muda harus memahami ini dengan baik. Pang sing nak mula keto, karena penjor ini adalah yadnya yang sederhana namun sarat makna. Rahajeng Rahina Suci Galungan dengan penjor yang sederhana dan bermakna. Rahayu,” tutup Jro Satria. (Smty)
Social Header