Buleleng – baliberkabar.id | Empat hari berturut-turut redaksi baliberkabar.id berupaya menghubungi Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Kabupaten Buleleng, I Made Sugiarta, untuk meminta klarifikasi dan konfirmasi terkait persoalan ganti rugi lahan dalam proyek Bandara Letkol Wisnu. Namun hingga berita ini diterbitkan, tidak satu pun pertanyaan dijawab, bahkan tidak ada respons sama sekali atas upaya konfirmasi yang dilakukan, baik melalui sambungan telepon, pesan tertulis, maupun datang langsung ke kantornya.
Sikap bungkam dan menghindar ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah institusi publik sekelas BPKPD Buleleng kini mulai alergi terhadap transparansi? Ketika seorang wartawan yang jelas menjalankan tugas jurnalistik sesuai Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers saja diabaikan, bagaimana dengan masyarakat biasa yang hendak menuntut hak dan kejelasan?
Perilaku tidak profesional seperti ini bukan hanya mencerminkan buruknya tata kelola komunikasi publik, tetapi juga berpotensi menciderai prinsip keterbukaan informasi yang menjadi fondasi utama pemerintahan demokratis. Ketika pejabat publik memilih diam atas persoalan yang menyangkut uang negara dan hak warga, itu bukan sekadar pembiaran, melainkan bisa ditafsirkan sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi wartawan sekaligus pengingkaran terhadap amanat pelayanan publik.
Kami, insan pers, tidak sedang mengemis jawaban, melainkan menjalankan kewajiban untuk menyampaikan informasi yang akurat dan dapat dipercaya kepada masyarakat. Jika pejabat publik seperti Kepala BPKPD enggan memberikan klarifikasi, maka publik pun berhak bertanya: ada apa yang sedang disembunyikan?
Kami mengingatkan, keterbukaan informasi publik adalah keharusan, bukan pilihan. Karena itu, kami mendesak atasan langsung dari Kepala BPKPD, baik Sekretaris Daerah (Sekda) maupun Bupati Buleleng, jangan hanya memberikan teguran tapi mencopot bawahannya yang tidak menjalankan tugas dengan profesional dan mengabaikan kewajiban melayani kebutuhan informasi publik.
Apalagi, persoalan yang menjadi dasar konfirmasi ini bukan masalah sepele. Ini menyangkut hak atas tanah warga negara yang hingga kini belum diselesaikan oleh Pemerintah Kabupaten Buleleng, kendati lahan tersebut telah lama digunakan sebagai bagian dari proyek Bandara Letkol Wisnu.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, sengketa lahan mencuat kembali dalam proyek Bandara Letkol Wisnu yang berlokasi di Desa Sumberkima, Kecamatan Gerokgak, Buleleng. Meski telah bertahun-tahun dimanfaatkan sebagai lokasi sekolah penerbangan, dan kini rencananya akan dialihkelola oleh Pemerintah Provinsi Bali, satu bidang tanah seluas 62,4 are masih belum tuntas proses ganti ruginya.
Tanah tersebut tercatat atas nama Mohammad Rasyid dengan Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 979, yang telah diperbarui menjadi SHM No. 1361. Lokasinya berada tepat di tengah landasan pacu bandara, sebagaimana ditegaskan dalam surat pemberitahuan dari Kantor Pertanahan (BPN) Kabupaten Buleleng tertanggal 8 Desember 2023.
Kuasa hukum Rasyid, Wirasanjaya dari Global Yustisia Law Firm, mengungkapkan bahwa perjanjian awal telah dibuat pada 8 Mei 2001 antara kliennya dan Pemerintah Kabupaten Buleleng. Dalam perjanjian tersebut, disepakati bahwa tanah milik Rasyid akan diganti dengan tanah negara dengan rasio 1:1,5. Artinya, Rasyid berhak atas tanah pengganti seluas 84,75 are.
Namun faktanya, Pemkab Buleleng hanya menyerahkan tanah negara seluas 45 are di Dusun Pegametan, Desa Sumberkima. Sisanya diganti dengan uang senilai Rp159 juta, nilai yang didasarkan pada harga tanah 34,75 are dengan perhitungan Rp4 juta per are.
“Pemkab juga menyanggupi pembiayaan seluruh proses sertifikasi tanah pengganti, namun hingga kini sertifikat atas tanah tersebut belum juga terbit,” ungkap Wirasanjaya saat ditemui Jumat, 13 Juni 2025.
Persoalan makin rumit saat tim hukum Rasyid mempertanyakan dasar pembayaran ganti rugi lain yang dilakukan Pemkab Buleleng pada 31 Mei 2001 dan 29 Desember 2009. Dalam dua kuitansi itu, tercatat ganti rugi atas lahan seluas total 75,05 are dengan nilai lebih dari Rp529 juta.
“Pertanyaannya, dari mana dasar acuan luas tersebut? SHM No. 1361 hanya mencatat 62,4 are, tapi ganti rugi diberikan atas 75,05 are. Bahkan antara dua kuitansi itu tidak konsisten: satu mencatat pelepasan hak, yang lain mencatat ganti rugi,” bebernya.
Wirasanjaya menegaskan bahwa hingga saat ini kliennya masih memegang bukti yuridis dan fisik atas tanah dimaksud, dan belum pernah ada pembatalan atas hak tersebut dari instansi berwenang atau putusan pengadilan. Ia juga menunjukkan peta blok milik Dinas Perhubungan Kabupaten Buleleng yang menandai area landasan pacu dalam blok merah, indikasi bahwa status lahan belum sepenuhnya dialihkan.
“Ini membuktikan bahwa lahan tersebut masih sah menjadi hak milik klien kami. Kami mendesak agar Pemkab Buleleng dan Pemprov Bali menyelesaikan persoalan ini secara terbuka, profesional, dan adil,” tegasnya.
Hingga berita ini diterbitkan, redaksi masih membuka ruang klarifikasi dari pihak Pemerintah Kabupaten Buleleng demi menjaga prinsip keberimbangan dalam pemberitaan.
Sengketa ini berpotensi menjadi penghambat utama dalam proses peralihan pengelolaan Bandara Letkol Wisnu ke Pemerintah Provinsi Bali jika tidak segera ditangani dengan serius. (Smty)
Social Header